September 19, 2008

Mahar dalam Pernikahan

Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk
uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar dan Nilai Nominal Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta, bukan sekedar simbol belaka.

Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar dimasa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya.

Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal,sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda berharga lainnya.

Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suami yang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya.

Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral.

Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri. Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan mengganggu status perkawinannya.

Mahar Dengan Mengajar Al-Quran

Demikian juga bila maharnya adalah mengajarkan Al-Quran kepada istri, tentu harus dibuat batasan bentuk pengajaran yang bagaimana, kurikulumnya apa, berapa kali pertemuan, berapa ayat, pada kitab rujukan apa dan seterusnya. Sebab ketika mahar itu berbentuk emas, selalu disebutkan jumlah nilainya atau beratny, maka ketika mahar itu berbentuk pengajaran Al-Quran, juga harus ditetapkan batasannya.

Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama

Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.

Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil. Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yang kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.

Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya. Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang dirugikan.

Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal, sedangkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai. Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami
mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.

Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan lafadznya begini: “Saya terima nikahnya dengan maskawin uang senilai 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun.”

Bila Terlalu Miskin Dan Sangat Tidak Mampu

Namun ada juga kelas masyarakat yang sangat tidak mampu, miskin dan juga fakir. Di mana untuk sekedar makan sehari-hari pun tidak punya kepastian. Namun dia ingin menikah dan punya istri. Solusinya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti keadaan ekonominya. Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi bayar nafkah. Logika seperti itu harus sudah dipahami dengan baik oleh siapapun wanita yang akan menjadi istrinya.

Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan nilai serendah mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkanatau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar itu.

2 komentar:

  1. setuju banget mba arik, bukannya kita mau matre, karena pemikiran seperti di atas itu juga yang mendasariku minta maharnya kalung 8,8gram hehehe, ben ungkul koyo ongko wolu..
    hei datang lah ke blog ku ya..
    dewinya kaka

    BalasHapus
  2. Aku sih maunya cincin berlian aja Dew huehehehehe....alasannya....karena aku suka berlian selain mutiara hihihihi....

    Oke aku akan berkunjung ke blogmu :)

    BalasHapus